Minggu, 26 April 2009

Makna dari hakikat hijrah bagi orang-orang yang menuju Allah (salikin), memandang realitas alam semesta sebagai Kenyataan-Nya. Kemudian mengubah panda

Makna dari hakikat hijrah bagi orang-orang yang menuju Allah (salikin), memandang realitas alam semesta sebagai Kenyataan-Nya. Kemudian mengubah panda
Manusia yang tidak dapat memandang alam semesta sebagai Kenyataan-Nya, hatinya terselimuti oleh ghisyawah (kegelapan) sehingga tidak dapat menyaksikan ke-Elok-an sifat Jamal dan Jalal-Nya . Pandangan yang demikian menandakan bahwa ia belum berhijrah atau dalam konteks hakiki ia masih jalan di tempat. "Jangan kamu hijrah dari suatu keadaan kepada keadaan lain, bila demikian, maka kamu akan seperti keledai mengisar gandum, dia terus berjalan, padahal sebenarnya ia jalan di tempat."
Oleh karena itu, dalam memandang sesuatu hendaknya tidak menggunakan kaca mata kemakhlukan. Tapi pandanglah secara hakiki, siapa hakikat dibalik sesuatu tersebut. Pandangan yang demikian itu disebut syuhud.
Begitu pun ketika beribadah kepada Allah, apabila menjadikan makhluk sebagai tujuan, maka akan terjebak dari makhluk ke makhluk. Apabila tujuan ibadah sudah belok kepada makhluk, maka ibadahnya itu dapat dikategorikan syirik. Sebab motivasi dari ibadah yang dilakukannya hanya ingin mendapatkan suatu kenikmatan dari makhluk (baik yang bersifat duniawi maupun ukhrawi). Siapapun yang beribadah karena mengharap pahala, ingin masuk surga, ingin makrifat, ingin melihat alam ruhaniah dan ingin melihat jin, harapan-harapan tersebut membawa dirinya ke wilayah makhluk yang tak berdaya.
Sebagai bukti, dalam mengerjakan amal ibadah selalu ingin mendapatkan sesuatu selain Allah (baik duniawi maupun ukhrawi), hal itu yang dapat menyebabkan berpalingnya hati dari Allah. Amal ibadah yang demikian sama halnya dengan berjalan di tempat.
Untuk meraih sukses dalam berhijrah, harus berbekal himmah yang kuat, pantang menyerah, tidak cengeng dalam menghadapi kesulitan, tidak mudah puas sebelum mendapatkan yang dituju, dan istiqamah. Namun sekuat apapun himmah yang dimiliki tanpa disertai kerja keras dan istiqamah, niscaya akan sulit meraih impian.
Dalam berhijrah menuju Allah hendaknya tidak mudah tertipu. Baik oleh gemerlapnya duniawi maupun keindahan alam ruhani. Karena semua itu dapat menyebabkan terhentinya perjalanan.
Jadikanlah Allah sebagai tujuan akhir dari hijrah yang hakiki, sehingga akan memperoleh yang hakiki pula. Jadikanlah Allah sebagai puncak tujuan akhir hijrah bagi orang-orang yang rindu perjumpaan dengan-Nya, karena Dia yang awal Dia pula yang paling akhir. "Dan sesungguhnya kepada tuhanmulah sebagai puncak tujuan akhir." (An Najm:42)
Karena, apapun tujuan hijrah, bila menjadikan selain Allah sebagai tujuan niscaya akan sia-sia dan berujung dengan kekecewaan.
Hijrah dalam konteks kekinian tidak lagi sebatas fisik, melainkan hijrah hati, perilaku, dan pola pikir. Berhijrah dari perangai yang tercela (madzmumah) kepada perangai yang terpuji (mahmudah). Dalam hal ini, seorang salikin harus berusaha mujahadah melawan dominasi nafsu ammarah, lawwamah, sawwalat diganti dengan nafsu sawwiyah, mutmainnah hingga mencapai nafsu radhiyah mardhiyah.
Karena itu, untuk mencapai tujuan hijrah, tinggalkan semua hal yang tercela dan lakukan hal-hal yang terpuji, disertai istiqamah dalam melakukan riyadhah dan mujahadah, serta carilah bimbingan dari seorang Syekh Mursyid. Sebab apabila seorang salikin hijrah namun tidak melaksanakan riyadhah dan mujahadah maka ia tidak akan mendapatkan perubahan apapun dalam ruhaninya.
Kemudian berhijrahlah dari suatu keadaan yang kurang baik kepada yang lebih baik. Yakni dengan senantiasa melakukan introspeksi ke dalam diri, agar tidak mudah puas dengan prestasi dan amal ibadah yang mungkin saja belum bernilai di hadapan Allah. Karena itu, jangan merasa diri paling hebat dan paling pintar, karena hal itu akan membuat seseorang menjadi angkuh dan sombong.
Salikin yang baik tidak boleh merasa dirinya mampu melakukan ibadah dengan kekuatan yang ada pada dirinya, tanpa menyandarkan kepada Allah. Karena hakikatnya seseorang tidak mempunyai daya dan kekuatan apapun. Hanya Allah yang Maha Kuat dan Maha Perkasa. "Barang siapa hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya maka hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya, dan barang siapa hijrahnya untuk mendapatkan dunia atau menikahi seorang wanita maka hijrahnya sesuai dengan motivasi dan tujuan hijrahnya." (HR. Bukhari, Muslim).
Hijrah dari suatu keadaan amal yang baik (hasanah) kepada tujuan untuk memperoleh pahala dan derajat (meski dianggap baik oleh orang awam), namun masih dianggap tidak sempurna (naqis) dalam pandangan orang khusus.
Sering kali orang begitu bersemangat melakukan ibadah karena ingin mendapatkan pahala dan surga atau takut dosa dan neraka. Hal itu meski di perbolehkan untuk orang awam, namun bagi orang khusus dianggap cela, karena masih menjadikan makhluk sebagi tujuan ibadah. Sebab pahala, surga, dosa dan neraka adalah akwan yang notabene adalah makhluk. Lalu kenapa dijadikan tujuan ibadah?
Karena itu, perlu usaha terus menerus untuk meningkatkan kualitas amal dan ibadah. Dari 'am menjadi khusus, dari khusus menjadi khususul khusus. Sehingga dalam melakukan ibadah tidak lagi sebatas fisik formalitas.
Syarat bagi orang yang berhijrah menuju Allah adalah ia harus fana' dari segala kainat (keadaan alam semesta) dengan melihat mukawinnya (pencipta alam semesta).
Perjalanan menuju Allah memang rentan dengan ujian dan cobaan. Maka siapa pun harus sabar, tabah dan tawakal dalam menghadapinya . Terkadang Allah sengaja menguji hamba-Nya dengan berbagai macam cobaan dan ujian hanya karena Ia ingin tahu sejauh mana kesungguhan niat hamba-Nya. Maka barang siapa yang memperoleh hidayah, maka ia akan kuat menghadapinya. Sebaliknya, bagi yang tidak mendapatkan hidayah akan berpaling dari Allah. Naudzubillah min dzalik.
Karena itu, yang terpenting bagi salikin dalam berhijrah menuju Allah adalah menjaga pandangan mata batin dalam melihat realitas alam semesta. Agar pandangan mata hati tetap jernih dalam syuhud musyahadah. Maka istiqamahkan yang demikian itu agar mencapai baqa' billah, sehingga dapat mengukur dengan tepat antara porsi akwan (alam semesta) dan mukawin (penciptanya) secara proporsional.
Rasulullah SAW bersabda dalam sanadnya Bukhari Muslim:
“Saya mendengar Rasulullah saw bersabda: ” Bahwasannya semua amal itu tergantung niatnya, dan bahwasannya apa yang diperoleh oleh seseorang adalah sesuai dengan apa yang diniatkannya. Barang siapa yang hijrah karena Allah dan Rasulnya maka hijrahnya itu akan di terima oleh Allah dan RasulNya, dan barang siapa yang hijrahnya, karena mencari dunia atau karena wanita yang akan dinikahinya maka hijrahnya itu hanya memperoleh apa yang diniatkannya dalam hijrahnya itu“. (HR bukhari dan Muslim)
Ada dua hal penting dalam pembahasan hadist ini :
Dalam pembahasan hadist ini membicarakan tentang keikhlasan perbuatan seseorang. Seyogyanya niat ikhlas hanya kepada Allah dalam segala aktivitas, perkataan, perbuatan dan keadaan. Terpenting dalam hal ini adalah setiap hamba Allah yang mempunyai akal ketika mengerjakan perbuatan haruslah menyertakan niat.
Dalam syair dikatakan : ” Beberapa perbuatan yang kecil akan menjadi besar ketika dibarengi niat, beberapa perbuatan besar menjadi kecil akibat niatnya“. Disinilah Allah menganjurkan kepada hambanya untuk menyertai niat dalam segala perbuatannya. Sehingga nanti tidak sia-sia apa yang akan diperbuatnya.
Diantara manusia ada yang menaruh niatnya setinggi langit, ada juga manusia yang menaruh niatnya serendah-rendahnya. Semua itu tentunya kembali bagaimana memahami dengan dalam tentang niat tersebut.
Ada sebuah ilustrasi, jika kita perhatikan ada dua orang sama-sama bekerja, dimana keduanya sama-sama mempunyai kesepakatan dalam awal, akhir, pekerjaan, perkataan, perbuatan, gerak-geriknya. Tapi pada akhir dari hasil tersebut sangatlah berbeda jauh, bagi langit dan bumi. Semua itu karena berangkat dari perbedaan niatnya.
Tersebarnya berita tentang masuk Islamnya sekelompok penduduk Yatsrib (Madinah), membuat orang-orang kafir Quraisy semakin meningkatkan tekanan terhadap orang-orang Mukmin di Makkah.
Lalu Nabi saw. memerintahkan kaum Mukminin agar hijrah ke kota Madinah. Para sahabat segera berangkat menuju Madinah secara diam-diam, agar tidak dihadang oleh musuh. Namun Umar bin Khattab justru mengumumkan terlebih dahulu rencananya untuk berangkat kepengungsian kepada orang-orang kafir Makkah. Ia berseru, “Siapa di antara kalian yang bersedia berpisah dengan ibunya, silakan hadang aku besok di lembah anu, besuk pagi saya akan hijrah.” Tidak seorang pun berani menghadang Umar.
Setelah mengetahui kaum Muslimin yang hijrah ke Madinah itu disambut baik dan mendapat penghormatan yang memuaskan dari penduduk Yatsib, bermusyawarahlah kaum kafir Quraisy di Darun Nadwah. Mereka merumuskan cara yang diambil untuk membunuh Rasululah saw. yang diketahui belum berangkat bersama rombongan para sahabat. Rapat memutuskan untuk mengumpulkan seorang algojo dari setiap kabilah guna membunuh Nabi saw. bersama-sama. Pertimbangannya ialah, keluarga besar Nabi (Bani Manaf) tidak akan berani berperang melawan semua suku yang telah mengutus algojonya masing-masing. Kelak satu-satunya pilihan yang mungkin ambil oleh Bani Manaf ialah rela menerima diat (denda pembunuhan) atas terbunuhnya Nabi. Keputusan bersama ini segera dilaksanakan dan para algojo telah berkumpul di sekeliling rumah Nabi saw. Mere¬ka mendapat instruksi: “Keluarkan Muhammad dan rumahnya dan langsung pengal tengkuknya dengan pedangmu!”
Seorang yang Mukmin yang percaya akan kemampuannya tentu tidak akan sembunyi-sem¬bunyi beramal. Sebaliknya ia berterus terang tanpa gentar sedikitpun terhadap musuh, sebagaimana yang dilakukan Umar bin Khattab sewaktu dia akan hijrah. Dalam kasus ini ada pelajaran, keberanian bisa membuat musuh merasa ngeri dan gentar. Seandainya orang-orang kafir Quraisy sepakat untuk membunuh Umar, tentulah mereka mampu melaku¬kan itu. Akan tetapi sikap Umar yang berani itulah yang membuat gentarnya kafir Quraisy, dan memang onang-orang jahat selalu merasa takut kehi¬langan hidup (nyawa).
Ketika ajakan ke arah kebenaran dan perbaikan sudah dapat dibendung, apalagi pendukung-pendukungnya sudah dapat menyelamatkan diri, tentulah orang-orang jahat berpikir untuk membunuh pemim¬pin dakwah itu. Mereka memperkirakan dengan terbunuhnya sang pemimpin, tamatlah riwayat dakwah yang dilakukannya. Pemikiran semacam ini selalu ada dalam benak orang-orang yang memusuhi kebaikan dari zaman dulu sampai sekarang.
Kepada seluruh umat Muslimin patutlah diperingatkan, penjajahan, dalam segala bentuk dan manifestasinya, tidaklah akan terkikis habis, melain¬kan dengan cara menerapkan Islam. Inilah inti perjuangan dakwah dewasa ini. Perhatikan firman Allah berikut, “Sekiranya penduduk negeri sudah beriman dan bertakwa, pastilah akan Kami limpahkan kepadanya keberkahan dan langit dan bumi.” (Al-A’raf: 96)
“Dan siapa saja yang bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan memberikan jalan kelua dan memberinya rezeki dari jalan yang tiada disangka-sangka, dan siapa saja yang bertawakkal kepada Allah, niscaya Ia akan mencukupkan keperluannya. Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan yang dikehendaki-Nya. Sesungguhnya Allah telah mengadakan ketentuan bagi segala sesuatu.” (At-Thalaq: 2-3)
“Dan siapa saja yang bertakwa kepada Allah niscaya Dia menjadikan baginya kemudahan dalam urusannya.” (At-Thalaq: 4)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar