Minggu, 26 April 2009

MENGHINDARI KESENGSARAAN

MENGHINDARI KESENGSARAAN
Kebahagiaan (sa’adah) dan kesengsaraan (syaqawah adalah masalah kemanusiaan yang paling hakiki. Sebab tujuan hidup manusia tak lain ialah memperoleh kebahagiaan dan menghindari kesengsaraan.
Kitab Suci al-Qur’an menyajikan banyak ilustrasi dan penegasan yang kuat tentang kebahagiaan dan kesengsaraan Dalam sebuah firman disebutkan tentang terbaginya manusia ke dalam dua kelompok: yang sengsara (syaqiy penyandang syaqawah, yakni, kesengsaraan) dan yang bahagia (sa’id, penyandang sa’adah, yakni kebahagiaan). Al-Qur’an melukiskan keadaan “Jika Hari (Kiamat) itu telah tiba, maka tiada seorang pun akan berbicara kecuali dengan izin-Nya Mereka manusia akan terbagi menjadi dua; yang sengsara dan yang bahagia”
Adapun mereka yang sengsara, maka akan tinggal dalam neraka di sana mereka akan berkeluh kesah semata. Kekal abadi di dalamnya, selama langit dan bumi masih ada, kecuali jika Tuhanmu menghendaki hal berbeda. Sebab Tuhanmu pasti melaksanakan apa saja yang menjadi kehendak-Nya.
Ada pun mereka yang bahagia, maka akan berada dalam surga, kekal abadi di dalamnya, selama langit dan bumi masih ada kecuali jika Tuharmu menghendaki hal berbeda, sebagai anugerah yang tiada batasnya. Allah berfirman dalam QS. Hud/11:105-108.
           
Artinya : Di kala datang hari itu, tidak ada seorangun yang berbicara, melainkan dengan izin-Nya; Maka di antara mereka ada yang celaka dan ada yang berbahagia.
•    •     
Artinya : Adapun orang-orang yang celaka, Maka (tempatnya) di dalam neraka, di dalamnya mereka mengeluarkan dan menarik nafas (dengan merintih),
           •  •   
Artinya : Mereka kekal di dalamnya selama ada langit dan bumi[736], kecuali jika Tuhanmu menghendaki (yang lain). Sesungguhnya Tuhanmu Maha Pelaksana terhadap apa yang dia kehendaki.
 •    •               
Artinya : Adapun orang-orang yang berbahagia, Maka tempatnya di dalam syurga, mereka kekal di dalamnya selama ada langit dan bumi, kecuali jika Tuhanmu menghendaki (yang lain); sebagai karunia yang tiada putus-putusnya.
Munculnya persoalan pengertian kebahagiaan dan kesengsaraan ini dalam Islam, patut kita bahas secara sungguh-sungguh, disebabkan adanya perbedaan interpretasi atas ayat-ayat suci yang menggambarkan kebahagiaan dan kesengsaraan itu. Perselisihan tentang wujud kebahagiaan atau kesengsaraan itu,
yaitu, apakah berupa pengalaman kerohanian semata, atau pengalaman jasmani semata, ataukah pengalaman rohani dan jasmani sekaligus, merupakan bagian dari dialog Islam sejak masa klasik.
Islam mengajarkan kebahagiaan dan kesengsaraan jasmani dan rohani atau duniawi dan ukhrawi, namun tetap membedakan keduanya. Dalam Islam, seseorang dianjurkan mengejar kebahagiaan di akhirat, namun diingatkan agar jangan melupakan nasibnya dalam hidup di dunia ini, firmannya dalam QS. al-Qashash/28:77
                         •     
Artinya : Dan carilah pada apa yang Telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah Telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.

Itu berarti memperoleh kebahagiaan akhirat belum tentu dan tidak dengan sendirinya memperoleh kebahagiaan di dunia. Sebaliknya, orang yang mengalami kebahagiaan duniawi belum tentu akan mendapatkan kebahagiaan di akhirat. Maka manusia didorong mengejar kedua bentuk kebahagiaan itu, serta
berusaha menghindar dari penderitaan azab lahir dan batin Al-Qur’an menegaskan
  •          ••             
Artinya :Apabila kamu Telah menyelesaikan ibadah hajimu, Maka berdzikirlah dengan menyebut Allah, sebagaimana kamu menyebut-nyebut (membangga-banggakan) nenek moyangmu[126], atau (bahkan) berdzikirlah lebih banyak dari itu. Maka di antara manusia ada orang yang bendoa: "Ya Tuhan kami, berilah kami (kebaikan) di dunia", dan tiadalah baginya bahagian (yang menyenangkan) di akhirat. (QS. al-Baqarah/2:200).
Walaupun begitu, banyak pula dijanjikan kehidupan yang bahagia sekaligus di dunia ini dan di akhirat kelak untuk mereka yang beriman dan berbuat baik. Kehidupan yang bahagia di dunia menjadi semacam pendahuluan bagi kehidupan yang lebih bahagia di akhirat, Allah berfirman
         •    •      .
Artinya :Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, Maka Sesungguhnya akan kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan Sesungguhnya akan kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang Telah mereka kerjakan. (QS.al-Nahl/16:97)
Demikian pula masalah kesengsaraan. Orang yang ingkar kepada kebenaran dan berbuat jahat diancam kesengsaraan dalam hidup di dunia ini
sebelum kesengsaraan yang lebih besar kelak di akhirat, Adapun orang-orang yang jahat, maka tempat mereka adalah neraka. Setiap kali mereka hendak keluar dari sana, mereka dikembalikan ke dalamnya, sambil dikatakan kepada mereka: “Sekarang rasakanlah azab neraka ini, yang dahulu kamu dustakan.” Dan pastilah Kami (Tuhan) buat mereka merasakan azab yang lebih ringan (di dunia ini) sebelum azab yang lebih besar (di akhirat nanti) agar kiranya mereka mau kembali.
Para ulama sepakat tentang adanya kebahagiaan dan kesengsaraan dunia-akhirat itu, adapun pangkal perbedaan itu ialah adanya perbedaan dalam tafsiran atas berbagai keterangan suci tentang kebahagiaan dan kesengsaraan, baik dari al-Qur’an maupun Sunnnah, khususnya keterangan atau pelukisan tentang surga dan neraka Yaitu perbedaan antara mereka yang memahami teks-teks suci secara harfiah dan mereka yang melakukan interpretasi metaforis (ta’wil)
Dalam kemungkinan tinjauan yang lebih menyeluruh, yang dikaitkan dengan “kebijaksanaan” Tuhan sebagai yang Maha Kasih-Sayang dan Maha Adil, maka pelukisan kebahagiaan dan kesengsaraan apa pun harus diterima sebagai sesuatu yang wujudi atau eksistensial, dan harus dipahami dalam konteks
adres pembicaraan (al-mukhathab),
Adapun jalan yang harus ditempuh mencapai kebahagian itu adalah tunduk pada Sang Kebenaran itu sendiri, yang merupakan konsistensi pertanyaan afirmatif atau al-itsbat pada bagian kedua kalimat syahadat, “kecuali Allah”. Inilah Islam yaitu ketundukan kepada Yang Maha Benar (al-Haqq). Telah dikemukakan bahwa ketundukan kepada Allah Sang Kebenaran Mutlak, adalah ketundukan yang dinamis, artinya ketundukan dalam wujud usaha tak kenal henti secara tulus “mencari”‘ “mendekat” (taqarrub), dan akhirnya “bertemu” (liqa) dengan Kebenaran. Usaha terus-menerus mencari Kebenaran itu disebut berjalan menempuh “Jalan Allah” (sabil al-Lah), dan wujud nyata usaha tersebut pada pribadi yang bersangkutan ialah adanya kualitas “kesungguhan dalam berusaha” (dinyatakan dalam kata-kata Arab juha -usaha penuh kesungguhan), sehingga melahirkan sikap hidup jihad (dalam dimensinya yang lebih fisik), ijtihad (dalam dimensinya yang lebih intelektual), dan mujahadah (dalam dimensinya yang lebih spiritual).
Allah Berfirman : Tunjukkanlah kami jalan yang lurus (QS. al-Fatihah/1:6). Seorang yang memang tunduk patuh kepada Allah (muslim) akan terus menerus memohon petunjuk jalan yang lurus itu, terutama dalam setiap kali shalat, kemudian “diaminkan,” baik secara sendirian maupun bersama orang lain. Dan kalau shalat itu disebutkan dalam al-Qur’an sebagai kewajiban atas kaum beriman dengan dikaitkan pada pembagian waktu selama sehari-semalaman (pagi, siang, sore, saat terbenam matahari dan malam)
               •      • 
Artinya : Maka apabila kamu Telah menyelesaikan shalat(mu), ingatlah Allah di waktu berdiri, di waktu duduk dan di waktu berbaring. Kemudian apabila kamu Telah merasa aman, Maka Dirikanlah shalat itu (sebagaimana biasa). Sesungguhnya shalat itu adalah fardhu yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman.(QS. al-Nisa 4:103),
Maka salah satu “pesan” yang dikandungnya ialah agar kita bertanya tentang jalan yang lurus itu setiap saat, tanpa henti-hentinya. Ini berarti bahwa jalan yang telah kita tempuh, juga yang akan kita tempuh, tak boleh dipastikan sebagai mutlak lurus. Justru amat berharga dalam menempuh jalan itu semangat mencari dan berusaha yang sungguh-sungguh, yaitu jihad, ijtihad dan mujahadah
Mereka yang beriman, berhijrah, dan berjihad dijalan Allah dengan harta dan jiwa mereka adalah lebih agung derajatnya disisi Allah. Mereka itulah orang-orang yang berbahagia. Tuhan mereka menjanjikan kabar gembira kepada mereka, dengan rahmat dan keridlaan-Nya dari Dia, serta surga-surga yang di sana mereka peroleh kenikmatan yang mapan. .
Lebih menarik lagi adanya keterangan bahwa keridlaan itu sesungguhnya suatu nilai yang timbal balik antara Allah dan seorang hamba-Nya. Sesungguhnya hal ini adalah sangat masuk akal belaka, karena dengan sendirinya Allah akan rela kepada seorang hamba, jika hamba itu rela kepada-Nya. Dan kerelaan
seorang hamba kepada Khaliqnya tak lain adalah salah satu wujud nilai kepasrahan (islam) hamba itu kepada-Nya. Inilah gambaran tentang situasi mereka yang telah mencapai tingkat amat tinggi dalam iman dan taqwa, seperti gambaran mengenai mereka itu dari masa lalu.
Wahai jiwa yang tenang-tenteram, kembalilah engkau kepada Tuhanmu, merelakan dan direlakan, kemudian masuklah engkau ke dalam golongan hamba-hamba-Ku, dan masuklah engkau ke dalam surga-Ku. (QS. al-Fajr/89:27-30)
Jadi keridlaan Allah itulah tingkat kebahagiaan tertinggi. Maka kaum sufi senantiasa menyatakan, “Oh Tuhanku, Engkaulah tujuanku, dan keridlaan Engkaulah tuntutanku.” Bagi kaum sufi, kebahagiaan yang lain tak sebanding dengan keridlaanAllah sampai-sampai, seperti didendangkan Rabi’ah al- Adawiyah, “masuk neraka” pun mereka bersedia, karena mereka rela kepada Allah dan mengharapkan kerelaan

Daftar pustaka


Assamarkandi Abdullah, Tanbihul Ghafilin,PT.Bina Ilmu, Surabaya, 1992
Syahrur Muhammd,Tirani Islam, LKis,Yogykarta, 2003
Mustafa Agus,Membonsai Islam, Padma Press, Surabaya, 2006.
Wuwungan, Kebersamaan Hidup, CV. Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 2004

1 komentar:

  1. ass. hallo faishol kita ketemu lagi, btw u sudah ngasih komentar lom ke blog punyaku?
    sol to the point ja yach...
    artikel u yang judulnya menghindari kesengsaraan intinya caranya ada berapa dan apa saja?

    BalasHapus